Kamis, 01 April 2010

Perjalanan Menemui Pikiran

Rinpoche, Perjalanan Menemui Pikiran - kompas

Kamis, 1 April 2010 | 03:20 WIB

Maria Hartiningsih

Menjumpai Yongey Mingyur Rinpoche (35) seperti menemui dunia yang tersenyum, penuh kemurahan dan welas asih; suatu dunia di kejernihan mata kanak-kanak yang dipenuhi kebahagiaan karena hanya melihat kebaikan.

Pertambahan usia membuat kejernihan pudar karena ‘a crazy monkey mind’ bertengger di kepala. Sumber kebahagiaan raib. Kehangatan dalam hubungan antarmanusia pun ikut raib.

Ditemui di sela kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, Rinpoche mengatakan, ”Orang cenderung membandingkan, tidak menerima dan menghargai yang dimiliki. Pikiran pepat oleh, ’tidak cukup’, ’tidak punya’, ’tidak cukup punya’. Hidup dipenuhi ’tetapi’. ’Makanan ini enak, tetapi…. Hidup ini indah, tetapi…”.

Ia berkisah tentang temannya yang tak bisa lagi menikmati pemandangan laut yang indah dari rumah pantai idamannya. ”Padahal, semua masih di sana, tetapi ia tidak melihatnya lagi,” ujarnya, ”Kalau ada 10 hal penting, sembilan dimiliki, tetapi fokusnya hanya pada satu yang kurang, maka rasa ’kurang’ itu membesar, dan menelan kita.”

Rinpoche, diterjemahkan dari bahasa Tibet, artinya ’yang mulia’. Menurut Eric Swanson, penulis pendamping Yongey Mingyur Rinpoche dalam buku best seller, The Joy of Living: Unlocking the Secret and Science of Happiness (2007), gelar Rinpoche ditambahkan di belakang nama seorang master atau guru yang pencapaiannya luar biasa.

Menurut Rinpoche, pengalaman dan dunia kita adalah proyeksi interaktif dari pikiran kita. ”Meditasi adalah cara terbaik untuk memahami semua itu,” ujarnya.

Pemahaman merupakan proses, yang pada setiap orang berbeda. Sulit dibayangkan, Rinpoche yang humoris itu—dan jadwal kegiatannya sangat padat sejak usia 19 tahun—pernah dihinggapi panic disorder pada usia tujuh tahun.

”Saya belajar meditasi pada usia sembilan tahun karena tidak tahu harus bagaimana menghadapi rasa cemas yang berlebihan dalam diri saya,” ujarnya.

Waktu itu sebenarnya ia tak tahu apa-apa tentang meditasi, tetapi malu bertanya pada kakek dan ayahnya, para meditator terkemuka. Sang ayah, Tulku Urgyen Rinpoche (alm), adalah Mahaguru Dzogchen, meditasi tantra tertinggi aliran Nyingma, abad lalu.

”Saya lari ke goa, bersila, diam, kadang ketiduran. Suatu hari saya ingat mantra ’Om mane padme hum’. Saya daraskan di batin, saya merasa lebih baik.”

Soal mantra itu yang pertama ditanyakan, ketika lewat sang ibu, ia minta diajari meditasi oleh ayahnya. ”Ayah hanya bilang ’ya’, mungkin karena beliau senang, akhirnya saya mau belajar,” kenang Rinpoche.

Waktu meditasi, rasa cemas itu seperti hilang. Tetapi, ”Waktu kecil saya pemalas. Saya tidak suka meditasi ha-ha-ha....”

Padahal, sejak usia tiga tahun, oleh dia ditengarai Karmapa XVI—salah satu master ajaran Buddha Tibet paling dihormati pada abad ke-20—sebagai inkarnasi ketujuh Yongey Mingyur Rinpoche, ahli meditasi dan cendekiawan abad ke-17, guru metode tingkat tinggi dalam praktik Buddhis.

Sejak usia 11 tahun, ia bolak-balik ke Biara Sherab Ling di utara India, di bawah bimbingan Tai Situ Rinpoche XII, salah satu guru terpenting ajaran Buddha Tibet saat ini.

Namun, kecemasan terus membayangi seperti hantu. Ketika dinobatkan sebagai inkarnasi Yongey Mingyur Rinpoce, ratusan orang hadir. ”Selama berjam-jam saya menerima hadiah dan memberikan berkah, seakan-akan saya ini mahapenting. Padahal, saya hanya anak 12 tahun yang sangat ketakutan...,” ujarnya.

Saat berusia 13 tahun, ia ikut retret tiga tahun di biara itu sebagai peserta termuda dalam sejarah Buddhis Tibet. ”Tahun pertama rasa cemas itu memburuk. Saya bilang pada diri saya, mau bertahan begitu dua tahun ke depan, atau mau sungguh belajar teknik meditasi. Karena saya pemalas, saya memutuskan yang kedua.”

Selama tiga hari ia meditasi di kamar. Itulah prosesnya membuka misteri diri: kalau rasa cemas diikuti, ia akan menjadi ’tuan’ yang memerintah hidup kita. Kalau ditolak, rasa cemas membesar karena ia menjadi musuh.

”Akhirnya, saya sapa ’dia’, ’Halooo...’, lalu saya transformasikan kecemasan itu dalam meditasi. Aware. Anda bisa menggunakan apa saja sebagai obyek awareness. Saya membangun kesadaran dengan kecemasan saya....”

Inilah titik balik hidupnya: pertemuan dengan pikirannya sendiri. Tekniknya ia paparkan dalam The Joy of Living. Tak ada mantra, tak ada urusan magis. Sebaliknya, meditasi bersifat saintifik, bisa dijelaskan secara ilmiah.

Kelinci percobaan

Menurut Rinpoche, hal penting dalam tradisi Buddhisme adalah kearifan, yaitu pemahaman tentang hakikat diri dan fenomena. Untuk itu, dibutuhkan pengalaman. Meditasi adalah cara terbaik untuk mencapainya.

”Meditasi dan pengetahuan,” kata Rinpoche, ”Dengan pengetahuan kita belajar hakikat fenomena dan hakikat hidup kita, kesementaraan, dan perubahan. Pengalaman bisa diartikan sebagai meditasi tanpa meditasi.”

Kalimat terakhir bisa dipahami lebih sederhana, ’meditasi bisa dilakukan dalam kegiatan sehari-hari, di mana pun. Orang tak usah tahu Anda sedang meditasi.

Latihan Buddhis formal yang dijalani intensif membuat dia berkenalan dengan ide penemuan dan ilmu pengetahuan modern, khususnya studi sifat dan fungsi otak. Ide itu mengendap sejak kecil, diperoleh dari ahli biologi Cile, Francisco Varela, yang belajar metode analisis dan melatih pikiran secara Buddhis di bawah bimbingan sang ayah.

”Saya ini kelinci percobaan,” ujarnya, dengan tawa berderai.

Pada tahun 2002, bersama tujuh meditator Buddhis, ia menjalani serangkaian tes saraf saat melakukan tiga metode meditasi, berhubungan dengan kesadaran, welas asih, dan ketulusan. Penelitian dipimpin oleh ahli neurosains terkemuka, Antoine Lutz PhD, di Laboratorium Waisman di Universitas Wisconsin, Madison, AS. ”Sebelumnya ada tes-tes berbeda di Universitas Berkeley dan Harvard,” ujarnya.

Tes menggunakan teknologi fMRI—MRI tercanggih—dan EEG memperlihatkan, aktivitas elektrik otak yang berhubungan dengan perhatian, cinta Ibu, empati dan fenomena kesadaran pada diri Rinpoche jauh melampaui yang pernah disaksikan, sampai para teknisi mengira terjadi kerusakan pada alat itu.

Majalah Time tengah tahun 2005 mencatat komentar ahli neurosains, Dr Richard Davidson, ”Menakjubkan....”

Dari penelitian itu, Rinpoche menemukan hal penting. ”Para saintis menyebutnya neuroplasticity. Artinya, otak punya kemampuan berubah. Dulu diyakini, kalau orang terlahir tidak bahagia, seumur hidup tidak bahagia. Ternyata otak punya kemampuan mengubah kondisi itu. Perubahan itu akan meningkatkan imunitas tubuh dan menciptakan kesejahteraan lahir-batin.”

Jadi, itu tujuan meditasi, Rinpoche?

”Ya. Mencapai kebahagiaan tanpa batas, termasuk cinta dan welas asih. Kebahagiaan sejati bersemayam dalam diri setiap manusia, tetapi karena hiruk-pikuk di kepala, orang tak bisa mengenali lagi kebaikan di dalam dirinya...,” ujarnya.

find the original post here:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/01/03204044/.rinpoche.perjalanan.menemui.pikiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar