Jumat, 30 April 2010

Sahabat atau Berasa Sahabat?

Beberapa minggu yang lalu salah seorang teman lama mengunjungi rumah saya. Dy ini seorang wanita yang nggak tau kenapa klo liat mukanya rasanya pengen njadiin dy sandbag buat latihan tinju :D.. pipinya itu loh! Mulanya saya pikir dia lg kehabisan uang jatah dari ortunya sampe2 harus numpang makan di rumah saya :D. tapi waktu saya lihat mukanya... ternyata lebih paraah!!!! @_@u

Rupa-rupanya sahabat yang sebenarnya nggak terlalu dekat ini sudah mendengar desas desus mengenai saya sekarang, yang bokernya lebih sering dari biasanya..hahaha becanda :D

Singkatnyaaa.... dia minta dihipnoterapi. 15 menit pertama dia curhat..gw mulai mikir: "ni orang kurang ajar banget y..udah g janjian dulu, tau2 minta diterapi, makan di rumah gw lg!!!!" ==u ...tapi sebagai sahabat yang baik.. akan saya tagih kapan2..meski saya tidak berharap melihat mukanya lagi :D

My Inner Voice: "Wooooooi bayaaaaaar!" :@

tapi melihat muka dia..yasuda lah.. tapi mulai sekarang gw bakal nolak orang yang minta terapi dengan tipe muka seperti ini :) ...so, 20 menit dy cerita masalah2 hidupnya, gw mulai melihat benang merah penghubungnya. Dia selalu menyebut partner kerjanya yang menurut saya sebenarnya nggak masalah, tetapi dy nganggep temennya itu selalu nggak ngehargain kehidupannya sehari2. So, gw tanya ama dy gmn cara temennya itu berkomunikasi sama dy. Setelah gw gali info-nya.. ternyata masalahnya nggak seburuk yang gw kira. Dy cuma kena "Generalization Syndrom" alias kesimpulan sebagian yang mewakili seluruh aktivitas.. kapan2 gw jelasin deh..but not now :)

naaah...tepat setelah dy selesai cerita, gw pengen buru2 terapi nih orang buat nyumbet radio rusak yang nggak berhenti siaran. Anehnya, ni orang tiba2 g pengen diterapi. DY bilang sih "udah lega, cuma pengen buang sampah".. dan tentunya saya sebagai sahabatnya langsung pasang muka ini -------> =_=u

ya OK-lah, gw langsung ambil saputangan dan tidak lupa meneteskan tetes mata saya yang sebotol harganya Rp.35.ooo,- itu untuk membasahi mata saya sambil berkata "I will miss u..." *lambai2 saputangan...

dalam hipnosis, ada prinsip "Don't equals Do" , jadi singkatnya: "Jangan pernah kembali!!!!".. :D
saya becanda..

2 hari kemudian, ni orang balik lagi, dan saya nggak mau mengulang tulisan di atas sampai 4 kali karena siklus di atas berulang sampai 4x.. so let's skip this: ni orang cuma pengen curhat tapi SKEPTIK terhadap akar masalahnya, sehingga seberapa seringpun dy curhat , masalahnya cuma hilang sementara. Dan tiap kali saya minta dy untuk terapi (sebagai teman yang baik saya menawarkan :D ) dy menolak.

Sampai di bagian ini, saya mulai teringat banyak cerita serupa, dan barangkali anda juga pernah mengalami memiliki teman seperti ini. Orang yang datang tiba2 dan meluapkan emosinya, curhat nggak ada habisnya tanpa berusaha mengerti apa yang mendasari masalahnya, dan tiap kali disalahkan dy malah menyangkal, dan mungkin malah semakin meledak-ledak emosinya.

Anehnya beberapa diantara teman saya malah tetap setia menjadi teman curhatnya. Bahkan malah membuat ego dy semakin tinggi.

Saya cuma punya sedikit tips berkaitan dengan sedikit pengetahuan saya sebagai terapis:

Seorang sahabat sejati tidak akan membuat sahabatnya ketergantungan, kita baru bisa dikatakan berhasil membantu apabila sahabat kita ini pada akhirnya bisa memberdaya dirinya sendiri sehingga apabila suatu saat dy mengalami masalah serupa, dy bisa mengatasinya sendiri karena dy sudah belajar dari pengalamannya.. BUKAN dengan terus mendengarkan tetapi malah membuat dy tidak pernah bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

setelah saya menolak dicurhatin akhirnya dy mengalah dan kali ini dy benar2 minta di-terapi. Hasilnya?

Dalam kondisi Deep Trance (Hipnosis) saya memanggil & berbicara dengan bagian dirinya yang lebih bijaksana (higher self), dan meminta bagian yang lebih bijaksana ini menasihati sisi lainnya yang lebih rendah..mmm..let's just say it "lower self". ketika saya bertanya pada higher self-nya:

Me: mengapa kamu begitu marah dengan partner kerjamu itu?
her higher self (selanjutnya disingkat hhs): soalnya saya sakit hati
Me: kenapa?
hhs: karena dy selalu tidak menghargai privasi saya, dan terus saja seenaknya menyuruh ketika saya sedang istirahat
Me: selalu
hhs: tidak, tapi sering
Me: sesering apa?
hhs: tiap kali saya mulai terlihat santai
Me: selalu setiap anda santai?
hhs: tidak, kadang2
Me: kenapa nggak bilang terus terang bahwa anda memang butuh istirahat?
hhs: soalnya saya sungkan
Me: kenapa sungkan?
hhs: saya takut dianggap orang yang yang temperamen

sesi selanjutnya tidak saya tampilkan, karena berhubungan dengan privasi teman saya ini, soalnya orangnya pasti nyadar klo saya teruskan percakapan ini..dan seorang terapis harus menghormati privasi pasiennya.. hahaha :D

dengan menyuruh higher self wanita ini memberitahu egonya yang sekarang, pada akhirnya teman saya ini memaafkan rekan kerjanya yang kadang2 membuatnya marah itu dan selanjutnya dy bs beraktivitas dengan normal.


yang terjadi sebenarnya adalah generalisasi yang pernah dia ambil mengenai orang tersebut telah terpatri dalam alam bawah sadarnya dan menjadi belief, sehingga apapun yang dilakukan oleh orang itu yang terlihat tetap saja jelek dan membuatnya marah2.

MASALAHNYA, dari yang saya lihat di kehidupan sehari2, sebagai seorang sahabat biasanya kita malah membiarkan dy tetap seperti itu. Kita membuat dia ketergantungan terhadap diri kita, yang mana sebenarnya peran kita tidak lebih dari sekedar TONG SAMPAH, sekalipun dy berkata bahwa andalah sahabat terbaiknya. sebenarnya baik dirinya maupun kita hanya "merasa" sebagai sahabat.

Jadi saya akan memberi tahu anda satu fakta yang memang cukup menyakitkan:
1. bagi yang suka curhat: curhat tidak selalu bisa membuang emosi yang ada dalam diri. Sebenarnya yang lebih sering terjadi penguatan ego, dan APAPUN yang dikatakan si "penasehat spiritual" sebenarnya tidak akan terlalu berpengaruh, KARENA kita tidak punya otoritas dengan posisi sebagai sahabat.
2. bagi yang dicurhatin: yang anda alami adalah savior complex, yaitu ego yang menyatakan bahwa andalah satu-satunya yang bisa mengerti, memahami seluk-beluknya, dan dapat mengubahnya menjadi lebih baik. kalo co biasanya karena ada maunya, sedangkan kalo ce biasanya karena ego sebagai "pendengar yang baik", atau karena tidak punya sahabat lain alias kurang gaul sehingga merasa takut banget kehilangan satu sahabat aja..padahal kalau dia malah marah klo anda mengatakan yang sejujurnya, berarti dy bukan sahabat yang baik untuk anda. Sahabat yang baik akan mendengarkan saran dari sahabatnya :)

lalu apakah curhat dilarang? tentu saja tidak.. tetapi kita harus bisa mengenali situasi ketika sahabat kita mulai menjadi ketergantungan. Demi kebaikan teman kita, biarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Kalaupun dia akhirnya mencari teman lain, biarkan saja.. hasilnya akan sama, karena hanya dirinya sendirilah yang bisa membawa perubahan yang berarti bagi dirinya. Tugas kita adalah mengingatkan bahwa dia harus mulai berhenti menjadi skeptik dan mulai mengenali dirinya sendiri..

ada banyak fakta lain yang daripada saya sebutkan di sini, lebih baik saya jadikan buku saja.. hahaha


Kesimpulannya.. silahkan melayani curhat, tetapi kenali tanda2 ketika sahabat kita mulai skeptik dalam membantu dirinya sendiri, dan lakukan segala sesuatunya memang demi sahabat kita, bukan demi ego kita maupun ego sahabat kita..

cheers all :)

Kamis, 01 April 2010

Perjalanan Menemui Pikiran

Rinpoche, Perjalanan Menemui Pikiran - kompas

Kamis, 1 April 2010 | 03:20 WIB

Maria Hartiningsih

Menjumpai Yongey Mingyur Rinpoche (35) seperti menemui dunia yang tersenyum, penuh kemurahan dan welas asih; suatu dunia di kejernihan mata kanak-kanak yang dipenuhi kebahagiaan karena hanya melihat kebaikan.

Pertambahan usia membuat kejernihan pudar karena ‘a crazy monkey mind’ bertengger di kepala. Sumber kebahagiaan raib. Kehangatan dalam hubungan antarmanusia pun ikut raib.

Ditemui di sela kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, Rinpoche mengatakan, ”Orang cenderung membandingkan, tidak menerima dan menghargai yang dimiliki. Pikiran pepat oleh, ’tidak cukup’, ’tidak punya’, ’tidak cukup punya’. Hidup dipenuhi ’tetapi’. ’Makanan ini enak, tetapi…. Hidup ini indah, tetapi…”.

Ia berkisah tentang temannya yang tak bisa lagi menikmati pemandangan laut yang indah dari rumah pantai idamannya. ”Padahal, semua masih di sana, tetapi ia tidak melihatnya lagi,” ujarnya, ”Kalau ada 10 hal penting, sembilan dimiliki, tetapi fokusnya hanya pada satu yang kurang, maka rasa ’kurang’ itu membesar, dan menelan kita.”

Rinpoche, diterjemahkan dari bahasa Tibet, artinya ’yang mulia’. Menurut Eric Swanson, penulis pendamping Yongey Mingyur Rinpoche dalam buku best seller, The Joy of Living: Unlocking the Secret and Science of Happiness (2007), gelar Rinpoche ditambahkan di belakang nama seorang master atau guru yang pencapaiannya luar biasa.

Menurut Rinpoche, pengalaman dan dunia kita adalah proyeksi interaktif dari pikiran kita. ”Meditasi adalah cara terbaik untuk memahami semua itu,” ujarnya.

Pemahaman merupakan proses, yang pada setiap orang berbeda. Sulit dibayangkan, Rinpoche yang humoris itu—dan jadwal kegiatannya sangat padat sejak usia 19 tahun—pernah dihinggapi panic disorder pada usia tujuh tahun.

”Saya belajar meditasi pada usia sembilan tahun karena tidak tahu harus bagaimana menghadapi rasa cemas yang berlebihan dalam diri saya,” ujarnya.

Waktu itu sebenarnya ia tak tahu apa-apa tentang meditasi, tetapi malu bertanya pada kakek dan ayahnya, para meditator terkemuka. Sang ayah, Tulku Urgyen Rinpoche (alm), adalah Mahaguru Dzogchen, meditasi tantra tertinggi aliran Nyingma, abad lalu.

”Saya lari ke goa, bersila, diam, kadang ketiduran. Suatu hari saya ingat mantra ’Om mane padme hum’. Saya daraskan di batin, saya merasa lebih baik.”

Soal mantra itu yang pertama ditanyakan, ketika lewat sang ibu, ia minta diajari meditasi oleh ayahnya. ”Ayah hanya bilang ’ya’, mungkin karena beliau senang, akhirnya saya mau belajar,” kenang Rinpoche.

Waktu meditasi, rasa cemas itu seperti hilang. Tetapi, ”Waktu kecil saya pemalas. Saya tidak suka meditasi ha-ha-ha....”

Padahal, sejak usia tiga tahun, oleh dia ditengarai Karmapa XVI—salah satu master ajaran Buddha Tibet paling dihormati pada abad ke-20—sebagai inkarnasi ketujuh Yongey Mingyur Rinpoche, ahli meditasi dan cendekiawan abad ke-17, guru metode tingkat tinggi dalam praktik Buddhis.

Sejak usia 11 tahun, ia bolak-balik ke Biara Sherab Ling di utara India, di bawah bimbingan Tai Situ Rinpoche XII, salah satu guru terpenting ajaran Buddha Tibet saat ini.

Namun, kecemasan terus membayangi seperti hantu. Ketika dinobatkan sebagai inkarnasi Yongey Mingyur Rinpoce, ratusan orang hadir. ”Selama berjam-jam saya menerima hadiah dan memberikan berkah, seakan-akan saya ini mahapenting. Padahal, saya hanya anak 12 tahun yang sangat ketakutan...,” ujarnya.

Saat berusia 13 tahun, ia ikut retret tiga tahun di biara itu sebagai peserta termuda dalam sejarah Buddhis Tibet. ”Tahun pertama rasa cemas itu memburuk. Saya bilang pada diri saya, mau bertahan begitu dua tahun ke depan, atau mau sungguh belajar teknik meditasi. Karena saya pemalas, saya memutuskan yang kedua.”

Selama tiga hari ia meditasi di kamar. Itulah prosesnya membuka misteri diri: kalau rasa cemas diikuti, ia akan menjadi ’tuan’ yang memerintah hidup kita. Kalau ditolak, rasa cemas membesar karena ia menjadi musuh.

”Akhirnya, saya sapa ’dia’, ’Halooo...’, lalu saya transformasikan kecemasan itu dalam meditasi. Aware. Anda bisa menggunakan apa saja sebagai obyek awareness. Saya membangun kesadaran dengan kecemasan saya....”

Inilah titik balik hidupnya: pertemuan dengan pikirannya sendiri. Tekniknya ia paparkan dalam The Joy of Living. Tak ada mantra, tak ada urusan magis. Sebaliknya, meditasi bersifat saintifik, bisa dijelaskan secara ilmiah.

Kelinci percobaan

Menurut Rinpoche, hal penting dalam tradisi Buddhisme adalah kearifan, yaitu pemahaman tentang hakikat diri dan fenomena. Untuk itu, dibutuhkan pengalaman. Meditasi adalah cara terbaik untuk mencapainya.

”Meditasi dan pengetahuan,” kata Rinpoche, ”Dengan pengetahuan kita belajar hakikat fenomena dan hakikat hidup kita, kesementaraan, dan perubahan. Pengalaman bisa diartikan sebagai meditasi tanpa meditasi.”

Kalimat terakhir bisa dipahami lebih sederhana, ’meditasi bisa dilakukan dalam kegiatan sehari-hari, di mana pun. Orang tak usah tahu Anda sedang meditasi.

Latihan Buddhis formal yang dijalani intensif membuat dia berkenalan dengan ide penemuan dan ilmu pengetahuan modern, khususnya studi sifat dan fungsi otak. Ide itu mengendap sejak kecil, diperoleh dari ahli biologi Cile, Francisco Varela, yang belajar metode analisis dan melatih pikiran secara Buddhis di bawah bimbingan sang ayah.

”Saya ini kelinci percobaan,” ujarnya, dengan tawa berderai.

Pada tahun 2002, bersama tujuh meditator Buddhis, ia menjalani serangkaian tes saraf saat melakukan tiga metode meditasi, berhubungan dengan kesadaran, welas asih, dan ketulusan. Penelitian dipimpin oleh ahli neurosains terkemuka, Antoine Lutz PhD, di Laboratorium Waisman di Universitas Wisconsin, Madison, AS. ”Sebelumnya ada tes-tes berbeda di Universitas Berkeley dan Harvard,” ujarnya.

Tes menggunakan teknologi fMRI—MRI tercanggih—dan EEG memperlihatkan, aktivitas elektrik otak yang berhubungan dengan perhatian, cinta Ibu, empati dan fenomena kesadaran pada diri Rinpoche jauh melampaui yang pernah disaksikan, sampai para teknisi mengira terjadi kerusakan pada alat itu.

Majalah Time tengah tahun 2005 mencatat komentar ahli neurosains, Dr Richard Davidson, ”Menakjubkan....”

Dari penelitian itu, Rinpoche menemukan hal penting. ”Para saintis menyebutnya neuroplasticity. Artinya, otak punya kemampuan berubah. Dulu diyakini, kalau orang terlahir tidak bahagia, seumur hidup tidak bahagia. Ternyata otak punya kemampuan mengubah kondisi itu. Perubahan itu akan meningkatkan imunitas tubuh dan menciptakan kesejahteraan lahir-batin.”

Jadi, itu tujuan meditasi, Rinpoche?

”Ya. Mencapai kebahagiaan tanpa batas, termasuk cinta dan welas asih. Kebahagiaan sejati bersemayam dalam diri setiap manusia, tetapi karena hiruk-pikuk di kepala, orang tak bisa mengenali lagi kebaikan di dalam dirinya...,” ujarnya.

find the original post here:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/01/03204044/.rinpoche.perjalanan.menemui.pikiran